Minggu, 13 Juni 2010

Kuambil Mimpi

“ Ini Reno, cucunya Kakek Adam adiknya alm. Kakekmu, yang kemarin nenek ceritakan itu! “ Nenek menjelaskan padaku, di sampingnya berdiri seorang lelaki remaja. Kuulurkan tanganku, Seraya melayangkan ingatan pada masa lalu, beberapa detik kemudian kenanganku mulai terangkai kembali, dulu pemuda di hadapanku ini masih balita ketika aku pertama bertemu dengannya, sekarang sudah tumbuh sebesar ini. Tubuhnya tegap menjulang tinggi, aku bahkan harus menaikkan muka untuk melihatnya dari dekat, wajahnya bak model sampul majalah remaja, hemm…ya, Reno memang punya potensi dengan ketampanannya yang manis itu. Ia lalu menyambut uluran tanganku, bibir mungilnya hanya sempat tersenyum kecil sejenak tanpa diikuti sepatah kata. Setelah itu tangannya menepuk pundak nenek dan berlalu meninggalkan kami diruang tamu yang masih berarsitek gaya Belanda.
“ Dia memang begitu, mahal sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya! “ Nenek menanggapi, sepertinya beliau sudah cukup paham dengan tingkah cucu adik iparnya.
“ Oh begitu!!Nek, Aline lapar, nenek masak enak untuk menyambut Aline kan hari ini? ”
“ Ya tentu saja, kan cucu nenek yang cantik datang kesini!hehehe.” Kami pun akhirnya melangkah masuk. Di ruang makan aroma gurami bakar lengkap dengan sambal terasi dan lalap segar sudah menungguku, begitu menggoda selera. Beberapa menit kemudian semua makanan hampir kulahap habis.
“ Lalu rencana kamu setelah lulus ini apa, Line ?” Nenek membuka pertanyaan disela-sela perjamuan makan siang.
“ Ehm…, Apa ya nek, Aline sendiri juga belum tahu! sekarang hanya ingin tenang dulu setelah kemarin otak seperti meledak menyelesaikan skripsi.”
“ Kalau kamu nggak keberatan, gimana kalau bantu Pakdemu saja ngurus tambak kakek! Kemarin Pakdemu sibuk cari orang untuk bantu mengurus administrasi pengiriman udang-udang.”
“ Wah, Aline mau nek! Dari pada cuma nganggur!” aku menjawab tanpa harus pikir panjang lagi, aku cukup tertarik dengan tawaran itu, sepertinya lingkungan baru yang paling aku butuhkan saat ini.
“ Trus, persiapan pernikahanmu gimana, Nduk ?” Nenek kembali angkat bicara.
“ Semua sudah diurus even organiser, nek! Aline hanya tinggal tunggu waktu sambil menyiapkan batin saja!” Sahutku. Iya benar, aku memang harus menyiapkan batin, sujujurnya itulah tujuan utamaku datang kemari. Sindrom pra wedding memang sedang melanda padaku. Aku ingin melepaskannya disini, hingga pada saatnya nanti aku sudah siap mendampingi Bathara, lelaki yang hampir lima tahun ini menjalin kasih denganku. Menikah bukanlah hal mudah, perlu pemikiran yang matang, bukan hanya masalah mempersiapkan moment pestanya, tapi kehidupan yang akan dilalui setelah itu. Hakh…itulah yang terus membuatku terjaga hingga subuh. Walaupun waktu lima tahun sudah cukup membuatku mengenal Bathara, tapi….ragu kadang masih saja muncul.
“ Yo wis lah kalau sudah siap begitu, nenek juga jadi lega!” Nenek tersenyum simpul “ Semoga nanti pernikahanmu lancar dan kalian bahagia sampai tua, ya seperti almarhum kakekmu dan nenek dulu!” lanjutnya, sementara jemarinya yang keriput menggenggam erat tanganku.Ahk…nenek, damai rasanya diperlakukan seperti ini.
Rumah nenek yang tak jauh dari laut cukup dingin ketika malam tiba, deburan ombak juga terdengar jelas, langit penuh bintang seolah sengaja dilukiskan Tuhan untuk memanjakan mata siapa saja yang memandangnya. Aku duduk diteras depan menikmati pemandangan itu. Jalanan sepi, tak seperti dikota tempat aku tinggal. Penuh sesak dengan kesibukan, tidak pernah berhenti barang sejenak. Kemudian Nenek datang membawa secangkir teh ditemani pisang goreng yang masih panas.
“ Ini, ayo dimakan! Enak lho !”
“ Nenek, Aline bikin repot aja ya ?”
“ Ndak apa-apa, nenek seneng kok menjamu cucu nenek ini! Biar kamu nggak bosen mengunjungi nenek.” Seru Nenek.
“ Wah…ceritanya nyogok nih?!” Aku menggoda wanita lanjut usia itu, beliaupun tersipu, senyum khasnya kembali terkembang. Gurat-gurat kecantikan masih terlihat, aku bisa membayangkan dulu nenekku pasti seorang wanita yang cantik, hingga mampu membuat kakakeku seorang lelaki berdarah belanda bertekuk lutut padanya.
“ Oya, nek, Reno itu sudah lama tinggal disini ? “ Yah…,pertanyaan ini memang sudah sejak tadi ingin kusampaikan.
“ Sudah hampir tiga bulan disini.” nenek menjawab singkat, ia terlihat disibukkan oleh pisang goreng panas yang sedang dikunyah.
“ Kenapa harus tinggal disini nek?” sekali lagi aku melontarkan introgasi.
“ Ya, karena nggak ada saudara lagi selain kita! Kakek Adam kan cuma punya satu anak saja, Ayahnya Reno, sekalian biar bisa nemeni nenek to disini, karena sudah lama nenek cuma tinggal sendiri sama bibik Tun, Pakdemu yang tinggal dekat sini juga cuma sesekali saja menjenguk nenek! Ada Reno jadi rame, ada yang anter nenek kemana-mana.” nenek menjelaskan panjang lebar.
“ Oh, begitu! Tapi kenapa dia disini ya nek, bukannya dia tinggal di Jakarta ya? Kenapa harus memilih tinggal dan sekolah di desa seperti sekarang ?” aku masih belum puas dengan jawaban nenek.
“ Aku di keluarin dari sekolah, gara-gara tawuran, sampai membuat seorang musuh tawuranku kehilangan tangan kanannya, aku disini sedang diasingkan.” Tiba-tiba ada suara menyahut dari dalam, tak lama suara itu menampilkan sosok Reno, ditengah pintu.
“ Lain kali tanya langsung aja kalau mau wawancara,nggak usah pake perantara!” Ia meneruskan ucapannya, kali ini lebih terdengar sengit. Mimik mukanya juga sinis menatapku. Beberapa saat kemudian ia berlalu.
“ Duh…ketus banget sih!” Aku berguman pelan.
“ Jangan dimasukin hati ya! Dia memang begitu, orangnya dingin, tapi kalau sudah kenal lama, Reno itu hatinya baik kok!” Nenek mencoba menenangkan suasana.
“ Sudah malam, kita masuk yuk, Nenek ngantuk!” Lanjut nenek.
Sinar matahari pagi menembus korden putih dikamarku, aku sudah didepan kaca merapikan diri, pagi ini aku akan berkunjung kerumah Pakde Hendra untuk mencari tahu barang kali beliau memang tengah membutuhkan bantuanku. Kubuka pintu kamar, diruang tamu aku mendapati nenek dan Reno berbincang, Lelaki muda itu sedang mengikat tali sepatunya, seragam putih abu-abu pun tampak rapi dikenakannya.
“ Pagi semua!!!” Aku menyapa
“ Eh, cucu nenek yang cantik sudah bangun to!” nenek membalas.
“ Pasti donk nek! Sudah subuh tadi malah!”
“ Gimana, nyenyak tidurnya ?” Nenek berkata seraya memegangi tanganku. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Sekilas kulihat mata Reno menatapku sinis, aku jadi bergidik. Hatikau berkata, tampaknya lelaki ini tidak menyukai kehadiranku.
“ Nek, Aline mau kerumah Pakde sekarang, Aline kangen sama Budhe dan Mbak Nita! Sekalian tanya pakde mungkin ada pekerjaan seperti yang nenek katakan kemarin untuk Aline!” Aku mencoba mengacuhkan tatapan sinis Reno tadi.
“ Ohk, iya, nenek juga sudah telpon Pakdemu, katanya kamu ditunggu disana!”
“ Nek, Reno brangkat dulu ya!” sahut Lelaki itumemotong pembicaraanku denagn nenek.
“ Eh, Tunggu le, Tolong anter Mbak Aline ke rumah Pakde Hendra sekalian ya?!” Nenek berseru.
“ akh…,nggak usah lah nek, Aline bisa naik becak kok, nanti Reno telat lagi!” Aku menolak, aku tak ingin membuat cucu adik kakek itu makin jengkel padaku.
“ Bilang aja nggak mau, nggak usah ditambah alasan aku telat segala!” Reno menjawab makin sinis.
Darahku sudah mulai memuncak, anak kecil ini perlu diajari sopan –santun rupanya.
“ Reno, bukan begitu maksud mbak Aline, dia cuma nggak mau kamu telat, rumah Pakde kan masih muter-muter dari arah sekolah kamu meskipun dekat!” Nenek mencoba mencairkan suasana saat itu penuh kesabaran.
“ Ya udah Nek, Reno brangkat dulu ya, lagian dia juga nggak mau bareng ini !” Reno kembali berseru, membuatku makin geram saja.
“ Line, kamu yakin nggak bareng Reno ? masih jam stengah tujuh kok, Reno nggak akan telat, masih bisa ngantar kamu?!” Nenek masih mencoba bijak membujukku.
“ Nggak nek, Aline naik becak saja!” aku menolak tegas. Reno menatapku lagi, matanya makin tajam, aku harus membalas tatapan itu, aku tidak mau diremehkan anak ingusan macam dia, kalau tidak lama-lama dia makin melonjak padaku.
Diperjalan menuju rumah Pakde, aku terus saja bertanya-tanya tentang Reno, mengapa pemuda itu sepertinya begitu membenciku ? Apa salahku ? Apa karena kata-kataku semalam yang terkesan mengintrogasi ? memang apa salahnya, toh aku hanya ingin tahu! Semua orang juga pasti begitu kan kalau ada yang asing dibenaknya. Tak lama Aku sampai juga dirumah Pakde, disana mereka menyambutku hangat, membuatku nyaman dan melupakan segala urusan tentang Reno tadi pagi. Pakde benar-benar menawariku pekerjaan itu, dia antusias sekali mengajakku membantunya bekerja.
“ Nanti, gajinya Pakde jamin nggak akan bikin kamu kecewa kok, tapi ya itu tadi, harus rela kulit jadi agak gelap manis seperti Pakde!” Aku hanya tertawa lebar menanggapinya, dan tentu saja aku bersedia menerima tawaran itu dengan senang hati, walaupun nantinya aku pasti perlu banyak tabir surya.
Tanpa terasa aku hampir menghabiskan seharian dirumah Pakde, aku harus segera kembali kerumah nenek sebelum gelap. Mbak Nita anak gadis pakde sudah siap dengan motornya untuk mengantarkanku kembali.Hingga, tiba-tiba muncul seseorang mengendarai motor balap, ia menghentikan motornya tepat disebelah Mbak Nita yang sedang berada diatas kendaraannya. Orang itu kemudian membuka helm fullface yang ia kenakan, sontak membuatku terkejut bukan main.
“ Reno!!!” seruku, aku tak pernah mengira anak ingusan itu yang datang.
“ Assalamualaikum Pakde, Budhe, Mbak Nit!” Ia mengucap salam pada yang lain seolah mengacuhkanku yang terkejut melihat kedatangannya.
“ Walaikum salam,wah, kebeneran ada Reno, jadi Aline bisa balik bareng kamu donk!” sahut Mbak Nita spontan.
“ Iya, Reno emang disuruh nenek jemput, habisnya udah magrib belum pulang juga! nenek takut nyasar kali.” Reno menjawab seenaknya.
“ Hahaha…nyasar kemana, desa kecil begini kok nyasar!” timpal Pakde.
Aku pun pamit pulang, terpaksa aku harus pulang bersama pemuda ingusan yang mulai membuatku sebal ini. Sifatnya yang ketus benar-benar mengingatkanku pada Adik semata wayangku dirumah yang juga amit-amit menyebalkan, Hakh…dasar nasib, sepertinya aku harus menghadapi dua mahluk yang mampu membuat naik darah. Diperjalanan tak sepatah katapun terucap, kami sama-sama diam seribu kata. Caranya mengendarai motor sangat kencang, aku benar-benar dibuat tidak nyaman dengan caranya membawa sepeda itu. sebenarnya aku tertarik untuk mencari menjelasan akan sikap angkuh yang ia tunjukan padaku, tapi sudahlah…aku tidak mau ambil pusing, sebaiknya aku berpikir tentang pekerjaan baruku bersama Pakde saja besok.
Diteras rumah nenek berdiri menyambutku, ada raut cemas yang nampak diwajahnya, aku jadi merasa bersalah. Seharusnya, aku memberi tahu kalau aku akan pulang larut tadi. Kami lalu bergegas masuk. Kubaringkan tubuhku dikamar yang cukup luas, Ponselku berdering. Tanganku pun dengan lincah meraih ponsel dalam tas kecil disampingku. Aku mendapat satu pesan masuk, lalu kubuka pesan itu. Dari Bathara. Ahk…ya, aku merindukannya.
Suara gemericik air dari balik tembok kamar membangunkan tidurku, aku tertarik dengan asal suara itu, kubuka jendela kamar, udara pagi yang dingin meraup masuk. Disana kulihat Reno sedang memandikan motor balapnya. Lelaki itu melihat sekilas kearahku, kaos yang dikenakannya basah tersiram air. Keadaan itu membuatku tertarik untuk membuka komentar.
“ Pagi Ren, cuci motor kok basah semua gitu, ntar masuk angin Lho!” Sapaku, sok akrab.
Aku bisa menangkap Bibirnya menjawab mengatakan “ Bawel!”
“ Iya maaf aku bawel, habisnya aku bingung mo ngomong apalagi sama kamu! Kamu ketus banget sih! Kita kan tinggal serumah masak seperti musuhan!?” Aku mencoba menanggapi dengan sikap dewasa, aku sudah hampir 23 tahun, nggak lucu kalau harus ribut mengangapi anak ingusan itu.
“ Perasaan kamu aja kali! Aku nyante aja tuh!” Ia membalas.
“ Kamu nggak suka aku disini ? “ Kataku lagi.
Pemuda itu seolah tersentak mendengar perkataanku barusan.
“ Kamu ini…”ia menghentikan kalimat dan beranjak mendekat mendatangiku “ terlalu gede rasa! Makanya jadi orang jangan banyak pikiran! Jadinya mo tahu mulu urusan orang lain ?” Ia melanjutkan ucapannya dengan ketus.
Hakh…aku melotot kesal mendengar ucapannya, ingin sekali kujambak rambutnya saat itu. Pemuda ini memang benar-benar perlu diajari sopan santun pada yang lebih tua, atau kursus kepribadiaan malah. Baik, kalau begitu mulai sekarang aku akan menganggap kau tidak pernah ada disini.
“ Aline, tolong bawakan makan siangnya Reno ini! Dia kalau lagi main game susah berhenti!” Seru nenek dari ujung Ruangan. Apa? Aku harus mengantar makan siangnya? Dia pikir dia raja? Kalau gak mau makan ya bodo amat. Bukan urusanku.
“ Line, kamu nggak dengar nenek ya?” seru nenek lagi.
Aku menarik nafas panjang, namun tak bergeming sedikitpun dari sofa. Nenek datang kemudian, wanita itu membawa nampan ditanggannya.
“ Nduk…tolong bantu nenek ya?”
Ya Ampun…melihat ekspresi nenek kali ini aku sungguh tidak berdaya untuk menolak. Bberapa saat kemudian aku sudah berada tepat didepan kamar pemuda kurang ajar itu. Disana dia sedang asik memainkan gamenya. Aku makin kesal saja.
“ Hei kamu!! Nih makannya! Lain kali ambil ndiri sana! Jangan bikin susah orang!” aku mengomel. Kemudian aku cepat-cepat bergegas pergi.
“ Hei mo kemana ?!” Reno berseru “ Nenek nggak bilang ya aku makan harus disuapin ?”
“ Hakh…nggak salah???” sahutku heran
“ Ayo sini, suapin!” ia memerintahku.
“ jangan gila donk!” aku menjawab.
“ Udah burauan suapin!!!kamu mau lihat aku mati kelaperan disini!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar